Jumat, 23 September 2011

Akhlak Kepada Tetangga


Akhlak Kepada Tetangga

Dalam kehidupan sosial, tetangga merupakan orang yang yang secara
fisik paling dekat jaraknya dengan tempat tinggal kita. Dalam tatanan
hidup bermasyarakat, tetangga merupakan lingkaran kedua setelah rumah
tangga, sehingga corak sosial suatu lingkungan masyarakat sangat
diwarnai oleh kehidupan pertetanggaan. Pada masyarakat pedesaan,
hubungan antar tetangga sangat kuat hingga melahirkan norma sosial.
Demikian juga pada lapisan masyarakat menengah kebawah dari
masyarakat perkotaan, hubungan pertetanggaan masih sekuat masyarakat
pedesaan. Hanya pada lapisan menengah keatas, hubungan pertetanggaan
agak longgar karena pada umumnya mereka sangat individualistik.

Tradisi ke Islaman memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
pembentukan norma-norma sosial hidup bertetangga. Adanya lembaga
salat berjamaah di masjid atau mushalla, baik harian lima waktu,
mingguan Jum''atan maupun tahunan Idul Fitri dan Idul Adha cukup
efektip dalam membentuk jaringan pertetanggan. Demikian juga tradisi
sosial keagamaan, seperti tahlilan, ratiban, akikah, syukuran,
lebaran dan sebagainya sangat efektip dalam mempertemukan antar
tetangga.

Tentang betapa besarnya makna tetangga dalam membangun komunitas
tergambar pada hadis Nabi yang memberi petunjuk agar sebelum memilih
tempat tinggal hendaknya lebih dahulu mempertimbangkan siapa yang
akan menjadi tetangganya, al jaru qablad dar, bahwa faktor tetanga
itu hams didahulukan sebelum memilih tempat tinggal.

Selanjutnya akhlak bertetangga diajarkan sebagai berikut:

(a) Melindungi rasa aman tetangga. Kata Nabi, ciri karakteristik
seorang muslim adalah, orang lain (tetangga) terbebas dari
gangguannya, baik gangguan dari kata-kata maupun dari perbuatan fisik.

(b) Menempatkan tetangga (yang miskin) dalam skala prioritas
pembagian zakat.

(c) Memberi salam jika berjumpa.

(d) Menghadiri undangannya.

(e) Menjenguk tetanggga yang sakit.

(f) Melayat atau mengantar jenazah tetangga yang meninggal dunia.
(g) berempati kepada tetangga

adapun didalam alqur''an ayat yang mneyoroti akhlak kepada tetangga, adalah surat annisaa ayat 36 , Allah Berfirman :
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat, ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

Ayat diatas menyuruh kita untuk berbuatbaik kepada tetangga yang dekat maupun yang jauh.Ini berarti empati kita terhadap tetangga harus diutamakan. biasanya ada tetangga yang ketika ditimpa masalah ada yang mau berbagi/bercerita, ada yang tidak. Bagi yang tidak mau bercerita tentang kesusahannya, kita harus peka sehingga kita dapat menolong mereka. Salah satu cara agar kita peka terhadap kesushan tetangga adalah dengan terus menyambungkan tali silaturrahim.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 273, yang menyatakan bahwa :
273. (Berinfaklah) kepada orang-orang FAKIR yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS. 2:273)
dari ayat diatas menerangkan bahwa untuk berinfak saja kita harus mendahulukan orang-orang yang fakir tapi terpelihara dari meminta-minta. Ini menjelaskan bahwa berempati dengan tetangga adalah salah satu akhlak bertetangga juga.
beberapa hadist nabi dibawah juga menyoroti bagaimana kita harusnya berperilaku terhadap tetangga :
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari bahayanya”. (HR. Muslim)
“Para sahabat menyebut kepada Rasulullah SAW seorang wanita yang rajin shalat, tetapi dia suka menyakiti tetangganya. Rasulullah SAW bersabda, “Ia di neraka”
Hak tetangga yang lain ialah memperhatikan keberadaannya.
“Tidaklah beriman orang yang ia kenyang, sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan dan ia tahu.”
Setelah itu disusul dengan berbuat ihsan, melakukan hubungan dan kebajikan dengan tetangga.
Abu Dzarr ra. berkata: Bersabda Rasulullah saw.: Hai Abu Dzarr, jika engkau memasak kuwah, maka perbanyaklah airnya, dan perhatikan tetanggamu. (HR. Muslim)
Yaitu berikan kepada mereka selayaknya.
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Hai wanita muslimat, jangan merasa rendah kalau akan memberi hadiah pada tetangga, walau sekedar kikl (ujung kaki) kambing. (HR. Bukhari, Muslim)
Karena hadiah itu akan menimbulkan rasa kasih sayang antara satu pada yang lain, maka jangan sampai terhalang memberikan hadiah itu, karena belum dapat memberi hadiah yang besar dan berharga. Singkatnya segala apa yang pantas untuk dirinya boleh dihadiahkan kepada tetangganya.
“Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah yang terbaik kepada temannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah yang terbaik kepada tetangganya” (HR. Attirmidzi)

Kajian Akhlak "Adab Silaturahim"

Kajian Akhlak "Adab Silaturahim"

Kajian Akhlak.
jumat 23092011 pukul 03:46
sy: ahmad bin hasyim alattas.


Adab Silaturrahim.

Hadits Pertama:

َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 

Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali kekerabatan." Riwayat Bukhari

Hadits Kedua :

َوَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ )  يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya :
Dari Jubair Ibnu Muth'im Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali kekerabatan." Muttafaq Alaihi. 

Bulughul Maram versi 2.0 © 2011 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah

Kajian Akhlak "Adab Terhadap Orang Tua"

Kajian Akhlak "Adab Terhadap Orang Tua"

Kajian Akhlak

23-september-2011
sy; ahmad bin hasyim alattas


وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ

Artinya : Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Dari hadits diatas, ada beberapa faedah (manfaat) yang dapat kita ambil, diantaranya :
  1. Allah memiliki sifat Ridlo.

    Kita wajib meyakini bahwa Allah Subhanuhu wa Ta’ala memiliki sifat Ridlo, yang sifat ini berbeda dengan sifat Ridlo yang dimiliki oleh manusia.

  2. Menunjukan betapa besar hak kedua orang tua atas anaknya.

    Dalam hal ini Allah Subhanuhu wa Ta’ala mensejajarkan hak-Nya dengan hak dari kedua orang tua. Sebagaimana penjelasan didalam surat Al Luqman ayat ke 14 :
    “… bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Dan hanya kepada Aku tempat kembalimu…”

    Dan juga di dalam sural Al Asraa ayat yang ke 20 :
    “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak…”

  3. Wajibnya seorang anak untuk membuat ridlo kedua orang tuanya dan haramnya membuat murka kedua orang tua.

    Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Celaka, celaka dan celakalah, orang yang masih menjumpai kedua orang tuanya ketika keduanya sudah tua, ataupun salah satu dari kedua orang tuanya, tetapi tidak dapat memasukkan dirinya ke dalam syurga”

    Di dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu beliau berkata, saya bertanya kepada Rasullullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah Subhanuhu wa Ta’ala? Maka Beliau menjawab sholat tepat pada waktunya, kemudian saya bertanya lagi, kemudian apa ya Rosululloh? Beliau menjawab lagi, berbakti kepada kedua orang tua, kemudian apa lagi ya Rosulullah? Maka Beliau menjawab lagi, berjihad dijalan Alloh.

    Kemudian di dalam hadits yang lain, yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Barkah, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Tidakkah aku ingin kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar, yaitu perbuatan menyekutukan Allah Subhanuhu wa Ta’ala (syirik) dan menyakiti kedua orang tua”
  4. Taat kepada orang tua hanya sebatas dalam hal yang baik.

    Hal ini dikarenakan tidak ada ketaatan didalam kemaksiatan. Artinya seorang anak tidak boleh mentaati kedua orang tuanya sehingga meninggalkan perkara-perkara yang sifatnya kewjiban kepada Allah atau untuk bermaksiat kepada Allah Subhanuhu wa Ta’ala. Tetaapi hal ini tidak menjadi alasan untuk tidak berbuat baik kepada orang tua.

    Sebagaiman firman Allah dalam surat luqman ayat yang ke 15, yang artinya:
    “kalau kedua orang tuamu memaksa untuk menyekutukan Aku, dimana engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, janganlah engkau taat kepadanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”

    Dan sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits yang pernah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampaikan :“Tidak ada ketaatan kepada makhluk didalam maksiat kepada Allah Subhanuhu wa Ta’ala”

    Kemudian di dalam perkara-perkara yang sifatnya mubah, Syehul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala, Beliau menyebutkan:
    Seandainya di dalam perkara mubah itu dia tidak taat kepada kedua orang tuanya sehingga membuat kedua orang tuanya tersebut terkena mudharat(berakibat buruk) maka, saat itu dia wajib taat kepada kedua orang tuanya tersebut, dan kemidian seandainya kedua orang tuanya tidak mendapat mudharat karena ketidak taatanya kepada kedua orang tuanya tersebut, maka dalam hal ini pun tetap seseorang tersebut, wajib untuk taat kepada kedua orang tuanya. Wallahu Ta’ala a’lam **************************************

Kamis, 22 September 2011

akhlaq pada nabi

 akhlaq pada nabi

Disamping akhlak kepada Allah Swt, sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada Rasulullah Saw, meskipun beliau sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun keimanan kita kepadanya membuat kita harus berakhlak baik kepadanya, sebagaimana keimanan kita kepada Allah Swt membuat kita harus berakhlak baik kepada-Nya. Meskipun demikian, akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang tidak bisa kita wujudkan dalam bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung sebagaimana para sahabat telah melakukannya.
1. Ridha Dalam Beriman Kepada Rasul
Iman kepada Rasul Saw merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan akan terasa menjadi nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha dalam keimanan sehingga membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan. Karenanya membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh merupakan bukan suatu beban yang memberatkan, begitulah memang bila sudah ridha. Ridha dalam beriman kepada Rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan sebagaimana hadits Nabi Saw:
Aku ridha kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).
2. Mencintai dan Memuliakan Rasul
Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Penegasan bahwa urutan kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah disebutkan dalam firman Allah yang artinya:
Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dasn (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS 9:24).
Disamping itu, manakala seseorang yang telah mengaku beriman tapi lebih mencintai yang lain selain Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakuinya sebagai orang yang beriman, beliau bersabda:
Tidak beriman seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
3. Mengikuti dan Mentaati Rasul
Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak bagi orang-orang yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting dari akhlak kepada Rasul, bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang mentaati Allah dan Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, orang-orang yang benar, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS 4:69).
Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah manakala kita melakukan kesalahan, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah: “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 3:31)
Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah (QS 4:64).
Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan mentaatinya, maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Dengan demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman yang artinya: Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).
4. Mengucapkan Shawalat dan Salam Kepada Rasul
Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan rahmah. Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti Allah memberi ampunan dan rahmat kepada Nabi, inilah salah satu makna dari firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS 33:56).
Adapun, bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan bagi kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw:
Barangsiapa bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad).
Manakala seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang paling utama kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda:
Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku (HR. Tirmidzi).
Adapun orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir atau bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw:
Yang benar-benar bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
5. Menghidupkan Sunnah Rasul
Kepada umatnya, Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau wariskan adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak baik kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar tidak sesat, beliau bersabda:
Aku tinggalkan kepadamu dua pusaka, kamu tidak akan tersesat selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku (HR. Hakim).
Selain itu, Rasul Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan segala bahayanya, beliau bersabda:
Sesungguhnya, siapa yang hidup sesudahku, akan terjadi banyak pertentangan. Oleh karena itu,. Kamu semua agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para penggantiku. Berpegang teguhlah kepada petunjuk-petunjuk tersebut dan waspadalah kamu kepada sesuatu yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim, Baihaki dan Tirmidzi).
Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.
6. Menghormati Pewaris Rasul
Berakhlak baik kepada Rasul Saw juga berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni para ulama yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni yang takut kepada Allah Swt dengan sebab ilmu yang dimilikinya.
Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS 35:28).
Kedudukan ulama sebagai pewaris Nabi dinyatakan oleh Rasulullah Saw:
Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak tidak mewariskan uang dinar atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmui kepada mereka, maka barangsiapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil mbagian yang besar (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati. Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk menghormatinya.
7. Melanjutkan Misi Rasul
Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasul telah wafat dan Allah tidak akan mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus dengan kehati-hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari Rasulullah Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasul Saw:
Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil tidak ada larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Demikian beberapa hal yang harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki akhlak yang baik kepada Nabi Muhammad Saw.

Rabu, 21 September 2011

akhlaq

Fondasi-fondasi Akhlak dalam Qur'an


Oleh: ahmad bin hasyim al-attas al-bantaniy.
 
Terdapat hubungan timbal balik antara pandangan dunia dan ilmu akhlak; sebab dari satu sisi ilmu akhlak seperti ilmu Logika, ilmu Fisika dan ilmu Matematika yang termasuk dari ilmu-ilmu partikular dan berada di bawah naungan ilmu universal (pandangan dunia); sebab ilmu ini (ilmu universal) menetapkan subyeknya sendiri yang merupakan ruh dan jiwanya. Sebagaimana sebagian dari itu juga menetapkan ilmu-ilmu Alam, dan dari sisi lain ilmu Akhlak juga memberikan tinjauan terhadap pandangan dunia; dalam pengertian bahwa dalam ilmu Akhlak, pandangan dunia tauhid, kebaikan, adalah sesuai dengan ruh dan bernilai serta merupakan kesempurnaan ruh tetapi pandangan dunia ateis, keburukan, adalah merugikan dan buruk serta mengandung pesan kekeruhan bagi ruh

 Akhlak Nazhari dalam Al-Qur'an [1]
Bagian Pertama
Hubungan Pandangan Dunia dan Ilmu Akhlak

Terdapat hubungan timbal balik antara pandangan dunia dan ilmu akhlak; sebab dari satu sisi ilmu akhlak seperti ilmu Logika, ilmu Fisika dan ilmu Matematika yang termasuk dari ilmu-ilmu partikular dan berada di bawah naungan ilmu universal (pandangan dunia); sebab ilmu ini (ilmu universal) menetapkan subyeknya sendiri yang merupakan ruh dan jiwanya[2], sebagaimana sebagian dari itu juga menetapkan ilmu-ilmu Alam, dan dari sisi lain ilmu Akhlak juga memberikan tinjauan terhadap pandangan dunia; dalam pengertian bahwa dalam ilmu Akhlak, pandangan dunia tauhid, kebaikan, adalah sesuai dengan ruh dan bernilai serta merupakan kesempurnaan ruh tetapi pandangan dunia ateis, keburukan, adalah merugikan dan buruk serta mengandung pesan kekeruhan bagi ruh.
Dalam ilmu Akhlak, ilmu-ilmu naafi' (yang bermanfaat) dengan jelas dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu yang tidak naafi' (yang tidak bermanfaat). Nabi mulia Muhammad Saw berlindung pada dzat suci Tuhan dan bersabda: "Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan qalbu yang tidak takut, serta jiwa yang tidak puas".[3] Sebab ilmu-ilmu dari sudut tinjauan manfaat dan mudharat dibagi pada beberapa  bagian; sebagian dari ilmu-ilmu adalah naafi' dan sebagian tidak, yakni sebagian ilmu-ilmu seperti ilmu-ilmu ateis, dimana ilmu-ilmu ini tidak hanya naafi' bahkan juga malah memiliki mudharat dan sebahagian lagi ilmu-ilmu tidak  naafi' dan tidak juga mudharat, seperti Sejarah, sebagian dari sejarah  kaum-kaum jahiliyah tidak memiliki aspek mendidik dalam kisah-kisahnya dan tidak mempunyai dampak dan efek fiqih (hukum) di dalamnya.
Akan tetapi sebagian dari bagian-bagian ilmu Sejarah dan Nasab (Geneologi), mempunyai faidah yang sangat banyak dan terhitung sebagai ilmu-ilmu naafi'. Tetapi yang pasti mengenal kaidah-kaidah ilmu yang berhubungan dengan nasab-nasab dan sejarah kaum-kaum, yang sama sekali tidak memberikan efek ilmu, industri dan seni, hanya menghabiskan usia dan membuang-buang waktu  dan merupakan contoh (mishdâq) dari sabda Rasulullah Saw dan Imam Musa Kazhim As: " Tidak memberikan mudharat dari ketidaktahuannya dan tidak memberikan manfaat dari mengetahuinya".[4]
Sebagian dari ilmu-ilmu "fii nafsihi" (ia sendiri) adalah naafi' tetapi sebab tidak mencapai tingkat pengamalan maka tidak dihitung sebagai ilmu naafi' dan ini sebagaimana yang dijelaskan oleh hadhrat Ali As: "Jangan engkau jadikan ilmumu sebagai kebodohan dan keyakinanmu sebagai keraguan, ketika engkau tahu maka amalkanlah dan ketika engkau yakin maka laksanakanlah[5]  dan juga beliau bersabda: "Betapa banyaknya orang 'alim yang dijerumuskan oleh kebodohannya, sementara ilmu yang dimilikinya tidak bermanfaat bagi dirinya"[6]. Sebagian dari ilmuan dalam kenyataan ia adalah ilmuan, ia juga adalah jahil; sebab ia tidak rasional dalam membunuh kejahilannya dan ilmunya tidak bermanfaat bagi keadaannya. Seseorang yang menuntut ilmu untuk mendapatkan kedudukan dunia, penghormatan manusia dan atau kelebihan serta kemewahan, maka ia menjual dirinya dengan murah. Ia berilmu tetapi tidak aqil (rasional). Dan orang lain yang melewati jalan dunia, lebih baik dari orang ini adalah orang yang menyiapkan kehampaan  dunia   dan mendapatkan kelezatan darinya. Oleh sebab itu bentuk ilmu-ilmu ini juga terhitung sebagai ilmu-ilmu tidak naafi'.
Hadhrat Amirul Mukminin AS dalam khutbah "hammâm" dalam menyifatkan orang-orang bertaqwa bersabda: "Dan mereka mewakafkan pendengaran-pendengaran mereka pada ilmu yang naafi' bagi mereka".[7]
Dan ini tidak hanya terbatas pada pendengaran, tetapi juga mencakup pada anggota-anggota lainnya, yakni selain terhadap ilmu naafi', mereka tidak mendengar yang lainnya; dalam pengertian bahwa mereka mendengarkan lafaz-lafaznya dan mempersepsi maknanya, tetapi ketika mereka menyaksikan tidak berpaedah, mereka kemudian melepaskannya; misalnya, dalam surah az-Zumar Tuhan berfirman: "Maka gembirakanlah hamba yang mendengarkan perkataan,  mereka mengikut yang paling baiknya"[8], mereka pada awalnya mendengarkan perkataan dan ideologi yang berbeda-beda dan kemudian menentukan yang mana di antara itu yang destruktif dan yang konstruktif dan selanjutnya mereka menyerahkan hati dan pendengaran terhadap apa yang naafi' (yang konstruktif). Mendengarkan yakni mentaati dan menerima.
Al-Quran Karim dalam wilayah ini berkata: "Sekiranya kami mau mendengarkan atau mau memahami pasti kami tidak termasuk orang-orang yang menghuni neraka saiir"[9]yakni jika kita mau mendengarkan dan mau menaati pasti kita tidak akan menjadi penghuni neraka. Oleh karena itu, ilmu akhlak meskipun ia dihitung bagian dari ilmu-ilmu partikuler tetapi ia juga mengutarakan pandangan pada ilmu yang paling universal dan mengatakan bahwa mempelajari ilmu ini adalah naafi', tauhid bagi jiwa adalah baik sedangkan syirik baginya adalah buruk.
Masalah tauhid dan syirik, dihitung sebagai bagian pandangan dunia dan permasalahan ketuhanan serta dipaparkan dalam ilmu universal, tetapi masalah penerimaan tauhid atau syirik merupakan tugas dari ilmu akhlak; sebab itu kedudukan ilmu akhlak dari tinjauan kemuliaan atas seluruh ilmu-ilmu dan bahasan-bahasan, mempunyai kedudukan tinggi.
Dalam pembahasan mendatang akan menjadi jelas secara sempurna bahwa tujuan akhir kenabian, sampainya manusia pada kedudukan tinggi "liqâullah" (pertemuan dengan Allah) dalam bentuk bahwa tidak bercampur yang bertemu, asli pertemuan  dan  yang dituju, akan tetapi hanya Tuhan yang ditemui, disaksikan dan dimaksud, dan dalam ibarat lain, petunjuk kenabian disimpulkan dalam bentuk mengutarakan jalan jelas dan tujuan jelas dan jalan itu, adalah mujahadah serta tujuan itu, adalah musyahadah, dalam bentuk bahwa tidak asli jihad akbâr, adalah  jalan dan yang dimaksud; sebab jihad adalah media bukan tujuan; dan tidak asli syuhud, adalah tujuan secara dzat; sebab  yang menjadi tujuan secara dzat adalah "masyhud" (yang disaksikan) bukan "syuhud" (penyaksian) dan bukan syahid (yang menyaksikan), karena salik "wâshil" (yang sampai) "fâni" (yang fana), tidak melihat kefanaannya dan tidak melihat dirinya yang fana dan menelitinya serta mencarinya, akan tetapi hanya melihat dzat yang tak bertepi Tuhan yang masyhud dan lainnya  tidak ada sama sekali. Topik ini merupakan pilar utama kitab ini dan menjadi landasan seluruh topik-topik berikutnya; sebab akhlak Ilahi dituangkan atas prinsip "wahdah"  (kesatuan) dan dikokohkan dengan  landasan tauhid, yang merupakan asas dan pusat pandangan dunia islam, karena itu keniscayaan dari tauhid dalam sisi globalnya adalah demikian ini yang sudah kita ungkapkan dan adapun dalam bentuk detailnya dengan "lutf" dari Tuhan akan dibahas dalam teks-teks selanjutnya.                           
Sumber Hukum-hukum Akhlak
Suatu keniscayaan untuk mendapatkan dasar pandangan teoritis yang argumentatif tentang akhlak, harus diteliti terlebih dahulu, akhlak yang mempunyai pengaruh menakjubkan dalam mengubah hakikat manusia dan membangun manusia mengambil sumber dari mana?
Manusia, adalah  suatu hakikat yang berfikir dan bebas memilih. Dan sudah jelas bahwa sesuatu yang tidak mempunyai realitas luar tidak mungkin dapat mencipta suatu hakikat luar; tetapi suatu perkara "i'tibari" (persepsi mental) didapatkan dari perantara-perantara  perkara hakiki; perkara i'tibari menjadi persiapan untuk mendapatkan hakikat-hakikat i'tibari; yakni sebagaimana peristiwa-peristiwa alam, adalah perkara-perkara hakiki dan penciptaan (takwini), yang mempunyai efek pada tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan dan setiap mekanisme dari mereka diatur sesuai peristiwa-peristiwa luar, manusia juga aktivitas-aktivitasnya diatur sesuai peristiwa-peristiwa luar, dan perkara-perkara i'tibari-nya (bisa dalam bentuk kontrak sosial, seperti pemilikan, pernikahan, penyewaan, pencurian dan sebagainya)  mempunyai sumber hakiki dan penciptaan (takwini).
Keharusan dan Ketidakharusan Akhlak
Manusia adalah maujud berpikir dan melakukan aktivitas-aktivitasnya dengan ikhtiyar dan kehendak (irâdah) sehingga ia memahami bahwa semua itu diatur berasaskan "keharusan" dan "ketidakharusan", tapi  di tempat dimana ia tidak tahu ia menyangka bahwa dirinya adalah bebas;misalnya ia berkata: Saya dalam cuaca  dingin harus memakai pakaian tebal sehingga tidak kedinginan dan saya dalam cuaca panas harus mengenakan pakaian tipis supaya saya tidak ditimpa kepanasan sebagaimana dalam lapar dan kenyang juga adalah demikian ini.
Manusia dalam  musim yang berbeda-beda, mengambil keputusan yang bermacam-macam dan mempunyai keharusan dan ketidak harusan yang beragam, hatta pada siang dan malam juga memiliki keharusan dan ketidakharusan yang berbeda-beda; sebab peristiwa dan kejadian tidak satu; Misalnya suatu waktu, adalah waktu kerja dan waktu lain adalah waktu istirahat. Keharusan dan ketidakharusan ini diperoleh dari kualifikasi persentuhan manusia dengan peristiwa-peristiwa; dengan kata lain, manusia mengatur keharusan dan ketidakharusan berasaskan tinjauan hubungan antara dirinya dengan alam penciptaan (takwini). Adapun ia berkata: "Saya harus mengerjakan ini", ini adalah suatu tanggung jawab dan nasihat akhlak; tetapi ketika ia berkata: "Jika saya melakukan ini, mempunyai efek seperti ini dan jika saya tidak melakukan ini, maka tidak mempunyai efek itu, ini bukanlah dimensi pekerjaan akhlak.
Penyakit serta Pengobatan Jiwa dan Badan
Sebagai contoh, dokter mempunyai dua macam aturan dan keterangan: satunya dari sisi ia sebagai dokter yang memberikan petunjuk kesehatan dan satunya lagi dari sisi ia sebagai menusia yang berpendidikan yang mempunyai tuntunan dan bimbingan.
Dokter, dari dimensi bahwa ilmu-ilmu empirik ada dalam ikhtiyarnya, memberi khabar tentang "ada" dan "tidak ada", serta "harus" dan "tidak harus". Misalnya, Ia berkata: "Jika si sakit dalam kondisi ini menggunakan obat ini, kondisinya akan baik dan jika ia tidak gunakan, kondisinya tetap buruk dan akan mati dan atau sakitnya semakin bertambah parah", dalam konteks ini pembicaraan sidokter berhubungan dengan ilmu kedokteran serta "ada" dan "tidak ada", dan  pembahasan dari satu sisi kembali pada hikmah nazhari(teoritis); tetapi dokter dari sisi bahwa memberikan fatwa kedokteran tidak memiliki sama sekali bentuk nasihat akhlak; dan dari sisi bahwa ia seorang berpendidikan dan penerapi, berkata kepada si sakit: "Untuk menjamin kesehatannya sendiri, lakukanlah pekerjaan ini dan untuk menjauhi bahaya, jangan makan makanan itu", dalam hal ini pembicaraan berhubungan dengan "harus" dan "tidak harus" serta petunjuk akhlak yang bersumber dari dokter dan aturan-aturan pengobatan yang keluar dari penerapi terhadap yang diterapi.
Sebagaimana pekerjaan-pekerjaan kedokteran juga kembali kepada ada dan tidak ada serta harus dan tidak harus, apa yang berhubungan dengan  jiwa manusia adalah juga penyakit, mempunyai terapi dan pengobatan; tetapi pirantinya adalah lebih luas dari piranti ilmu-ilmu kedokteran. Ruh, memiliki hakikat yang seluruh perbuatan-perbuatan baginya tidaklah satu dan sama; sebagian dari amal perbuatan untuk selamanya destruktif baginya; sebagian lagi amal perbuatan memberi kehidupan abadi kepadanya; sebagian dari prilaku dan amal memberi penyakit padanya dan sebagian lagi mengobatinya; tetapi sebab tidak diindrai terkadang dihitung sebagai perkara imajinasi, meskipun pada hakikatnya apa yang "ada" dan "tidak ada" serta "harus" dan "tidak harus" di sisi dokter, demikian juga ulama akhlak memiliki itu.
Para ulama akhlak memiliki informasi juga tentang hikmah nazhari (teoritis) dan juga hikmah 'amali (praktis), mereka mengutarakan bahasan juga tentang ada dan tidak ada serta juga harus dan tidak harus; Misalnya berkata: Jika individu atau masyarakat tertimpa akhlak (X), maka akhirnya adalah kejatuhan dan kehancuran serta masyarakat itu, akan punah dan musnah: "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan dikarenakan perbuatan manusia"[10] dan jika suatu masyarakat menyaksikan dimensi keutamaan-keutamaan akhlak, maka mereka akan mendapatkan dan  menerima aspek kesucian. Hal ini adalah pembicaraan tentang ada dan tidak ada, sementara pembicaraan tentang harus dan tidak harus juga memiliki proporsi; Contohnya mengatakan: Masyarakat harus begini sehingga mereka bahagia. Mereka sejahtera di dunia dan juga bahagia di akhirat. Dan  masyarakat tidak boleh demikian supaya mereka tidak  menderita serta tidak dilanda kerugian di dunia dan kemalangan di akhirat.
Kenyataan Permasalahan-permasalahan Akhlak      
Sebagaimana baik dan buruknya kedokteran tidak dari sisi kecenderungan dan kesenangan tetapi berdasarkan ilmu dan sebab, baik dan buruknya permasalahan-permasalahan akhlak juga berasaskan kenonmaterian ruh dan realitas, bukan dari sisi selera dan kesenangan; dan sebab berasaskan realitas maka ia menerima burhan (dapat diargumentasikan) sebagaimana akan diisyaratkan nantinya pada pembahasan yang akan datang; akan tetapi adapun hal-hal yang mubah dan benda-benda yang halal,  dapat saja menerima selera (artinya dalam wilayah hal-hal yang mubah dan benda-benda yang halal, orang dapat memilih sesuai dengan seleranya); misalnya, seseorang yang sehat berada di depan seprai hidangan yang terdapat di atasnya bermacam-macam jenis makanan, maka ia dalam hal memilih makanan adalah bebas. Jika makanan adalah sehat dan baginya tidak berbahaya, memungkinkan ia menyantap apa saja yang ada dalam hidangan tersebut berdasarkan keinginan dan seleranya. Dan atau jika terdapat beraneka ragam serta bermacam-macam warna dari pakaian dan mengenakan yang manapun darinya tidak punya efek negatif, maka ia dapat memilih secara bebas jenis dan warna pakaian berasaskan seleranya. Oleh karena itu manusia dalam "ruang privacy" adalah bebas.
Dalam masalah-masalah halal dan haram juga demikian. Jika terdapat perkara halal dalam beberapa bentuk, maka  pembicaraan di situ adalah bersifat memilih dan bebas; tetapi dalam wilayah antara halal dan haram, di sini tidak ada pembicaraan memilih dan bebas; kendatipun manusia secara penciptaan (takwini) adalah bebas tapi secara operasional (tasyri'i) adalah tidak bebas. Oleh sebab itu dalam konteks wilayah antara haram dan halal pasti salah satu di antaranya adalah merusak dan yang lainnya adalah bermanfaat; sebab semua pekerjaan-pekerjaan dihubungkan dengan ruh non materi manusia adalah tidak sama. Dari sisi inilah masalah kebaikan dan keburukan, konstruktif dan destruktif dan lain sebagainya urgen untuk diutarakan. Dan orang yang tahu tentang hubungan pekerjaan-pekerjaan ini dengan ruh manusia, tentu ia mengutarakan aturan-aturan amal akhlak (dastûr al 'amal akhlâq) yang berkenan "harus dan tidak harus"  dan juga mengungkapkan pandangan yang berkenan "ada dan tidak ada" (realitas obyektivitas akhlak).
                 
Dasar Keuniversalan Prinsip-Prinsip Akhlak
Dalam al-Qur'an Karim dan Sunnah para Maksum As terdapat dua jalan, yakni harus dan tidak harus serta ada dan tidak ada, secara sempurna dapat terasakan dan terpahami. Para dokter juga dari jalan "ada dan tidak ada" secara jelas memberikan peringatan dan secara kandungan memberi ancaman dan mengatakan: "Mengerjakan pekerjaan ini, adalah kehancuran dan penderitaan, dan melakukan perbuatan itu, balasannya adalah kehidupan dan kebahagiaan. Di samping itu juga mereka secara langsung memberikan aturan pengharaman atau pewajiban (harus dan tidak harus); sebagaimana dokter melakukan dua jalan dan metode tersebut, juga terdapat dalam dalil naqli (naratif) yang lebih umum dari al-Qur'an dan riwayat-riwayat; dan dimensi inilah menjadi dasar sumber prinsip-prinsip keuniversalan akhlak. Dan sebab prinsip-prinsip ini tidak hanya untuk orang tertentu tetapi untuk manusia dari sisi bahwasanya adalah manusia, yakni untuk fitrah manusia dan fitrah ini terdapat pada seluruh manusia "fitrah Allah yang Ia fitrahkan pada manusia atasnya, tidak ada perubahan untuk (fitrah) ciptaan Allah"[11], sebab itu prinsip-prinsip ini dikatagorikan sebagai ilmu; dalam natijahnya, juga preposisi-preposisi mempunyai dasar dan landasan universal dan juga  filsafat akhlak mempunyai pembenaran secara general dan rasional; tetapi jika akhlak adalah preposisi partikuler, maka ia tidak dapat dirasionalisasikan –sebab ia bukan ilmu dan tidak teragumentasi- dan baginya juga tidak dapat disebut sebagai filsafat.
Oleh karena itu, keuniversalan prinsip-prinsip dan proposisi-proposisi yang terungkap secara ke dalam ilmu Akhlak, dari satu sisi dan tinjauan sebagai filsafat akhlak, dan secara ke luar dari ilmu Akhlak dari sisi lain mengalamatkan bahwa akhlak, bukanlah suatu perkara individu, tetapi adalah universal dan mempunyai dasar pijakan yang tetap dan lestari; sebab preposisi-preposisi universal tanpa dasar pijakan yang tetap danmujarrad (kenonmaterian) tidak dapat menerima pengasumsian dan hipotesa.
Jika akhlak adalah suatu perkara individu dan tidak mempunyai dasar pijakan yang tetap,mujarrad dan lestari, maka tidak secara ke dalam dapat dijelaskan baginya prinsip-prinsip dan proposisi-proposisi universal dan tidak secara ke luar dapat diutarakan baginya filsafat dan argumentasi-argumentasi.[bersambung]



[1] . Diterjemahkan oleh Ruhullah Syams dari Mabadi Akhlaq dar Qur'an karya Ayatullah Jawadi Amuli,
[2] . Yang dimaksud dari ilmu universal yang bertanggung jawab dalam menetapkan subyek ilmu akhlak dan ilmu-   ilmu partikuler lainnya adalah filsafat nazari yang mana ilmu ini bertanggung jawab dalam hal ontologi dan mengetahui hakikat-hakikat yang ada (pandangan dunia) dan oleh sebab itu disebut juga ilmu a'laa.
[3] . Bihaar, jld.83,hal.94.
[4] Bihâr al-Anwâr, jil. 1, hal. 221.
[5] Nahj al-Balâghah, hikmah 274.
[6] . Ibid, hikmah 107.
[7] Nahj al-Balâghah, khutbah 193.
[8] . Q.S As-Zumar: 17-18.
[9] . Q.S : Al-Mulk : 10.
[10] . Q.S: Ar-Rum: 41.
[11] . Q.S: ar-Rum : 30.





Views: 5378

  Be first to comment this article


Write Comment
  • Please keep the topic of messages relevant to the subject of the article.
  • Personal verbal attacks will be deleted.
  • Please don't use comments to plug your web site. Such material will be removed.
  • Just ensure to *Refresh* your browser for a new security code to be displayed prior to clicking on the 'Send' button.
  • Keep in mind that the above process only applies if you simply entered the wrong security code.

Sabtu, 10 September 2011

ILMU

Mukadimah

Assalamualaikum dan Selamat Datang ke Blog saya yang tidak sepertinya ini. Tentu anda sudah menduga bahawa blog ini dihasilkan oleh warga Malaysia daripada bahasa yang digunakan. Saya lebih suka jika bahasa yang digunakan disebut sebagai bahasa nusantara, kerana anda yang berasal dari Indonesia, Singapura dan Brunei juga boleh memahaminya dengan baik, walaupun mungkin ada istilah atau ungkapan yang terasa asing, tetapi saya rasa bisa saja difahami.
Anda juga akan mendapati kata-kata pedoman yang dipaparkan di sini tidak menyertakan nama pemilik kata-kata tersebut. Apalah ada pada nama, malah akan membuat kita prejudis dan menilai orang yang membuahkan kata-kata yang baik itu, sedangkan yang penting, kita dapat mengamalkan kata-kata itu sehingga ianya menjadi sifat semulajadi kita. Mudah-mudahan kita menjadi insan yang baik-baik dan orang lain juga mendapat manfaat daripada amalan yang terbit dari hati yang bening dan ikhlas.
Tidak ada hakcipta terpelihara untuk ilmu yang datangnya dari maha Esa.  Bahkan kita dituntut untuk menyebarkan apa yang kita tahu. Maka sebarkanlah apa saja yang anda fikirkan perlu disebarkan. Tidak perlu link kembali atau minta izin.  Apa yang anda baca di sini hanyalah maklumat. Ianya akan menjadi ilmu yang manfaat apabila diamalkan. Dan jika kita sampaikan ilmu yang kita ada kepada orang lain, maka Allah akan menganugerahkan kepada kita ilmu yang belum kita tahu.
Terima kasih kerana sudi mampir ke blog saya yang serba ringkas ini. Sudi juga kiranya kalau dapat, meninggalkan kata dua untuk pedoman saya, juga untuk pengunjung yang bakal datang. Semoga kita sentiasa berada didalam kesejahteraan.